Jumat, 15 Maret 2019

CPO Jadi Biang Kerok Ekspor RI Amblas 11,33% di Februari 2019


PT KONTAK PERKASA FUTURES BALI 15/03/2019 - Pada hari Jumat ini (15/3/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mengumumkan neraca perdagangan (ekspor-impor).

BPS mengatakan pada bulan Februari, nilai ekspor mencapai US$ 12,53 miliar, atau turun 11,33% dari tahun sebelumnya (YoY).
KONTAK PERKASA

Sedangkan impor juga turun sebesar 13,98% YoY menjadi US$ 12,2 miliar.
Alhasil pada bulan lalu, Indonesia selamat dari yang namanya defisit neraca perdagangan luar negeri, karena berhasil membukukan surplus sebesar US$ 330 juta.

Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan bahwa nilai ekspor minyak sawit sepanjang Januari-Februari 2019 hanya mencapai US$ 2,94 miliar, yang artinya turun 15,06% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2018.
Penyebab utamanya adalah turunnya harga minyak sawit di pasar global. 

Mengacu Bursa Malaysia Derivatives Exchange, harga rata-rata minyak sawit mentah (Crude Pam Oil/CPO) sepanjang Januari-Februari 2019 memang tercatat turun 15,18% menjadi hanya US$ 543,76/ton. Padahal pada periode yang sama tahun 2018, harga rata-ratanya berada di level US$ 641,06/ton. Diketahui bahwa harga CPO di Malaysia juga akan mempengaruhi harga di Indonesia.



Penyebabnya adalah permintaan minyak sawit global yang diprediksi terkontraksi untuk pertama kali sejak dua dekade lalu pada tahun panen 2019/2020.
KONTAK PERKASA

Berdasarkan keterangan dari B.V. Mehta, Direktur Eksekutif Solvent Extractors Association of India yang dilansir dari Reuters, produksi rapeseed akan menyentuh rekor 8 juta ton pada tahun ini. Akibatnya, ketersediaan minyak rapeseed domestik India akan meningkat lebih dari 1,5 juta ton dan akan menyebabkan permintaan minyak sawit akan turun.

Padahal India merupakan importir terbesar minyak sawit asal Indonesia, yang pada tahun 2017 volumenya mencapai 7,31 juta ton.

Sebagai informasi, rapeseed merupakan biji yang berasal dari bunga dan dapat menghasilkan minyak nabati yang fungsinya bisa menggantikan minyak sawit.
Selain itu, adanya kampanye negatif atas sawit di Eropa juga turut memberi andil pada tekanan harga CPO.

Pada hari Rabu (13/3/2019), Komisi Uni Eropa kembali menentukan kriteria baru penggunaan minyak sawit untuk bahan baku pembuatan biodiesel.

Dalam peraturan yang baru tersebut, minyak sawit dikategorikan sebagai produk yang 'tidak berkelanjutan' alias tidak bisa digunakan sebagai bahan baku biodiesel.



Bahayanya, sebagian besar, bahkan hingga 51% dari impor minyak sawit negara-negara Eropa dipergunakan untuk keperluan biodiesel. Tentu ini akan mengancam permintaan CPO. Terlebih porsi ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa mencapai 3,3 juta ton, yang mana hanya kalah dari India.

KONTAK PERKASA 

Ekspor minyak sawit sudah barang tentu tidak dapat dianggap remeh. Pasalnya komoditas tersebut menyumbang hingga 12,9% dari total ekspor non migas. Bahkan bila ditinjau dari total ekspor secara keseluruhan (migas dan non-migas), sumbangan minyak sawit mencapai 11,14% sepanjang Januari-Februari 2019.

Artinya, bila kondisi ini terus berlanjut, apalagi kalau harga CPO terus turun, maka nilai ekspor Indonesia akan terancam. Bisa jadi saat impor makin meningkat, defisit bisa kembali terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar